Dina menarik napas dalam, tapi udara seakan tertahan di tenggorokannya. Dadanya terasa sempit, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal ini.
Setiap kali ia mendapati pekerjaan yang diluar ekspektasinya, pikirannya mulai berlarian tidak kunjung stabil, kacau dan lebih sensitif pada hal hal yang kecil. Seakan dia bisa melihat masa depan yang penuh tanda tanya.
"Jangan terlalu dipikirkan," begitu kata orang-orang di sekitarnya. Tapi dalam batinnya masih bertanya, "bagaimana mungkin aku berhenti berpikir?"
Setelah sekian lama Dina mengalami sesak nafas yang begitu hebat. Ia pun berkonsultasi ke Dokter Paru Paru, dan hasilnya paru-parunya sehat, jantungnya juga baik-baik saja. "Mungkin ini karena stres," kata sang dokter dengan lembut.
Dokter menjelaskan bahwa tubuh dan pikiran saling mempengaruhi. Jika pikiran terlalu gelisah, tubuh pun ikut bereaksi.
Dina mencoba untuk melakukan terapi dan minum obat obatan namun tetap saja sesak nafasnya tak kunjung hilang. Dia berfikir dan semakin sesak, karena jika obat dan terapi belum cukup membantu, lalu apa yang bisa benar-benar membuatnya merasa lebih baik?
Bagaimana Pikiran Bisa Menyebabkan Sesak Nafas?
Pikiran adalah sesuatu yang luar biasa. Ia bisa membangun dunia, tapi juga bisa menghancurkan seseorang dari dalam.
Ketika seseorang merasa tertekan, otaknya mengaktifkan mekanisme pertahanan alami—sebuah sistem yang seharusnya membantu manusia bertahan dalam situasi berbahaya. Namun, ketika sistem ini terus-menerus aktif tanpa alasan yang jelas, tubuh mulai kelelahan.
Salah satu efeknya adalah napas menjadi lebih pendek, dada terasa sesak, dan otot-otot menegang. Ini seperti seseorang yang bersiap untuk berlari dari bahaya, meskipun bahaya itu hanya ada di dalam pikirannya.
Dina mulai menyadari bahwa tubuhnya bukanlah musuh. Ia hanya merespons apa yang dipikirkan oleh otaknya. Jika ia ingin tubuhnya tenang, ia harus terlebih dahulu menenangkan pikirannya.
Kembali ke Ritme Alami Kehidupan
Selama ini, ia terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang belum terjadi, sehingga lupa bagaimana caranya benar-benar menjalani hidup yang seimbang.
Dina mulai memperhatikan orang-orang di sekitarnya yang terlihat tenang dan bahagia. Mereka tidak memiliki kehidupan yang sempurna, tapi mereka memiliki sesuatu yang membuat mereka lebih ringan dalam menghadapi kesulitan.
Mereka hidup dengan keyakinan bahwa segala sesuatu memiliki jalannya sendiri. Mereka memilih dan menerima konsekuensi yang akan diterima. Mereka menerima kenyataan, dan menerima bagaimana konsekuensi itu mereka terima. Mereka tetap berusaha menjalani apa yang menjadi pilihan mereka, tapi tanpa dibebani kecemasan yang berlebihan.
Saat Dina mulai mencari jawaban, ia menemukan sebuah ayat yang seolah langsung berbicara padanya:
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Ia mulai memahami bahwa ketenangan bukan sekadar tentang menarik napas dalam atau mencoba mengalihkan pikiran, tetapi tentang menemukan kedamaian dalam keyakinan yang lebih besar.
Ia juga teringat pada kisah tentang burung yang disebutkan dalam sebuah hadist:
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana burung yang pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi)
Burung tidak duduk diam dalam ketakutan, ia tetap bergerak, mencari makanan, tapi tanpa beban kecemasan yang berlebihan.
Hadist ini mengajarkan kita untuk lebih banyak lagi bersyukur, lebih sering mengambil waktu untuk berhenti dan menghirup udara dengan tenang. Ia mengganti pikirannya yang penuh ketakutan dengan harapan, mengganti kecemasannya dengan keyakinan bahwa segala sesuatu sudah diatur dengan baik.
Setiap kali napas mulai terasa pendek, kita harus melepaskan beban yang tidak perlu. Seperti Dina yang harus belajar bahwa hidup ini bukan tentang mengendalikan segalanya, tapi tentang berjalan dengan keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja.